Linkarutama.com – Proses hukum berupa eksekusi lahan PTPN I Regional 7 oleh Pengadilan Negeri Kalianda setelah menang berperkara hingga ke Mahkamah Agung, Selasa (31/12/2024) menyisakan banyak kisah.
Para warga yang sempat menduduki lahan, mendirikan rumah, dan tinggal di lokasi lahan mulai menyampaikan keluh kesahnya. Mereka bukan komplain kepada PTPN I Regional 7 karena terpaksa terusir, tetapi menyesal telah percaya kepada para oknum mafia tanah yang mengklaim lahan tersebut dibagikan untuk warga miskin.
Suparno (47), warga asal Mesuji Lampung yang sudah tinggal di lokasi lahan tersebut hampir setahun lalu mengaku dirinya tertipu.
Ia mengisahkan, ia tergiur untuk masuk ke lokasi lahan yang sebagian masih ada tanaman kelapa sawit itu karena diajak salah satu kerabatnya.
“Saya ini nggak nyangka kalau akhirnya jadi begini. Saya kan tukang di Mesuji. Kalau kerjaan tukang kan kalau di kampung nggak banyak. Sering cari kerjaan ke Karang (Bandar Lampung). Nah, waktu itu ada saudara yang ngasih tahu kalau ada tanah murah, hibah negara untuk orang miskin.
Saya tertarik, lah,” kata dia mengisahkan, Senin (6/1/2025).
Tentang bagaimana mendapatkan kaveling yang kemudian didirikan rumah, Parno, sapaan akrabnya, telah mengeluarkan sejumlah uang. Pertama, untuk lahan dibangun rumah, ukuran tanahnya 8×12 meter. Namun, dia mengaku belum berani membangun rumah karena masih was-was.
“Beberapa bulan kemudian, saya dapat surat sporadik dari mereka atas nama saya. Waktu itu saya harus bayar surat itu Rp1,5 juta, tetapi nggak dikasih kuitansi. Saya percaya saja karena surat itu kan kelihatan resmi dan ditanda tangani lurah (Kepala Desa) pakai materai segala. Nah, mulai dari adanya sporadik itulah saya berani membangun rumah,” kata Suparno.
Suparno adalah salah satu okupan yang telah meninggalkan lahan yang diokupasi dengan bantuan dari PTPN I Regional 7. Sejak hari pertama proses hukum eksekusi riil, rumah yang dia huni sudah didaftarkan untuk dibongkar dengan bantuan tenaga tukang dari PTPN I Regional 7.
Nasib serupa dialami Lensi. Pria yang sebelumnya merupakan pemilik warung makan di bilangan Kotabaru, Bandar Lampung itu juga mengaku tertipu oleh oknum yang belakangan diketahui sebagai grup mafia tanah.
Sebagaimana Parno, Lensi juga telah menyadari kesalahannya dan bersedia keluar dari lokasi dengan sukarela tanpa paksaan.
Sekitar dua tahun lalu, cerita Lensi, dia bersama istri sedang berjualan di warungnya.
Diantara beberapa pembeli yang makan diwarungnya, ada seorang laki-laki disebut saja pulan (saat ini sudah meninggal dunia). Sosok Misran ini sempat mengobrol dengan Lensi yang berakhir menawarkan prospek berupa lahan murah.
“Jadi, awalnya begitu. Kebetulan saat itu usaha saya sedang sepi sekali atau bangkrut, lah. Jadi, waktu ada tawaran itu, saya bergabung dan akhirnya saya mendirikan rumah di situ. Sejak awal kami memang sudah curiga karena ini kan kebun sawit milik PTP (dulu PTPN VII). Tetapi karena kawannya sudah banyak, saya nekat saja. Eh, tahu-tahu jadi begini,” kata Lensi penuh sesal.
Suparno, Lensi, dan puluhan okupan lainnya kini sudah meninggalkan lokasi lahan yang merupakan bagian dari HGU No.16 Tahun 1997 milik PTPN I Regional 7. Dibantu secara kemanusiaan oleh PTPN I Regional 7 usai eksekusi, baik Suparno dan Lensi menyatakan penyesalan sekaligus menyampaikan terima kasih kepada PTPN I Regional 7.
“Ya, mau bagaimana lagi karena kami memang salah menduduki lahan milik negara. Kami terima kasih PTPN masih memberi toleransi dan memberi bantuan kepada kami,” tambah Lensi.
Selain nasib hunian yang dia dirikan, Lensi juga menceritakan perihal lahan garapan yang dijanjikan.
Ia mengaku banting setir dari warung makan ke bertani dengan menggarap lahan milik PTPN I Regional 7 dengan sistem sewa kepada oknum LSM Pelita. Untuk menyewa lahan garapan yang diatanami jagung itu, dia harus mengeluarkan Rp8,5 juta per hektare per tahun.
“Selain membayar biaya sporadik tanah rumah sebesar Rp1,5 juta, saya juga bayar sewa lahan garapan Rp8,5 juta setahun. Yang saya merasa sakit lagi, setelah dua tahun lahan itu saya garap dan sudah bersih, lahan itu diambil kembali oleh mereka,” ujar dia.
Melihat urusan yang berubah-ubah dan tidak sesuai dengan janji-janji awalnya, Lensi dan beberapa okupan mulai resah.
Mereka mengaku sudah berniat untuk keluar dari lokasi sejak beberapa waktu lalu dan meminta pertanggung jawaban kepada para oknum tersebut agar mengembalikan uang. Terlebih setelah pada beberapa sidang pengadilan pihak PTPN I Regional 7 selalu menang.
“Kami juga sudah mengadukan oknum LSM yang sudah menerima uang sewa dari kami. Dan meminta mereka untuk mengembalikan uang kami,” tegasnya.
Menanggapi ekecewaan para mantan okupan, Kabag. Sekretariat dan Hukum PTPN I Regional 7 Jumiyati menyatakan turut prihatin. Namun demikian, pihaknya hanya bisa membantu sebentuk filantropi berdasar kemanusiaan. Sebab, secara hukum masalah ini sudah sangat jelas, tegas, dan mengikat.
Di sisi lain, Jumiyati juga mengimbau para mantan okupan untuk menggunakan cara dan jalur formal yang diatur undang-undang dalam memperjuangkan hak-hak atas kekecewaan ini. Meskipun demikian, ia menilai opsi musyawarah dan mufakat adalah model terbaik yang bisa anda tempuh.
“Kami sangat prihatin dan bersimpati kepada para mantan okupan yang merasa tertipu. Namun, kami sarankan untuk dimusyawarahkan dalam upaya mengembalikan hak-hak yang pernah dijanjikan. Jalur hukum menjadi opsi terakhir jika tidak ketemu jalan keluar,” kata dia.
Melihat situasi terakhir, Jumiyati juga mengharapkan kehadiran aparat keamanan dan aparat pemerintahan untuk memberi pengayoman.
Sebab, kata dia, secara psikologis situasi ini punya potensi memunculkan gesekan antar kelompok yang bisa meretakkan persatuan dan kebersamaan.
“Kami terus berada di tengah-tengah mereka untuk memberi dukungan moral dan sedikit membantu secara kemanusiaan. Terima kasih kepada aparat kepolisian, aparat pemerintahan, dan tokoh masyarakat yang juga terus hadir di tengah situasi ini. Mari kita jaga kebersamaan dengan tetap patuh kepada hukum yang berlaku,” pungkasnya.
Informasi terkini di lapangan, beberapa elemen masyarakat dan organisasi juga turut memantau situasi.
Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (SPPN) VII yang merupakan organisasi karyawan PTPN I Regional 7 mengutus belasan aktivisnya di lapangan.
Mereka ikut berpartisipasi membantu okupan yang akan keluar dari lokasi sekaligus mengantisipasi jika ada penolakan dari sejumlah oknum warga.
Demikian juga dengan Forum Komunikasi Putra-Putri Indonesia Bersatu (FKPPIB) yang merupakan organisasi anak-anak karyawan BUMN yang terus memantau keadaan. Mereka juga bersiap mengantisipasi jika provokasi dari para oknum masih terjadi di lapangan.(*/her)