Diskominfotik Lampung Melemahkan Demokrasi Informasi Hak Publik

Linkarutama.com – Mandeknya proses rekrutmen Komisi Informasi (KI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Lampung bukan sekadar soal teknis birokrasi, melainkan sebuah blunder politik yang memperlihatkan bagaimana kekuasaan dijalankan dengan dalih efisiensi, Selasa (26/8/2025)

Pemerintah Provinsi melalui Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) dengan enteng menyebut penundaan seleksi sebagai bagian dari penghematan anggaran. Tetapi publik bertanya: bagaimana mungkin efisiensi dipakai sebagai alasan, sementara honor untuk komisioner lama yang masa jabatannya sudah kadaluarsa tetap cair tanpa hambatan?

Inilah wajah hegemoni kekuasaan ala Lampung. Antonio Gramsci mengingatkan bahwa hegemoni tidak bekerja dengan paksaan, tetapi dengan konsensus yang direkayasa. Diskominfotik dalam hal ini berperan sebagai corong narasi hegemonik—membungkus kelalaian birokrasi dengan bahasa efisiensi agar tampak rasional. Padahal, substansinya jelas melemahkan hak publik atas informasi dan merusak mekanisme pengawasan penyiaran. Narasi efisiensi hanyalah ilusi yang berfungsi menutupi ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan mandat konstitusional.

Lebih jauh, di era digital, hegemoni ini diperkuat dengan algoritma. Pernyataan resmi pejabat yang berulang kali dikutip media, disebar melalui kanal daring, lalu diperdengarkan kembali di ruang percakapan digital, membentuk echo chamber yang menimbulkan kesan bahwa penundaan ini sesuatu yang normal. Algoritma media sosial bekerja melipatgandakan pesan resmi, menciptakan legitimasi semu. Publik yang tidak kritis akhirnya melihat alasan efisiensi sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Inilah bentuk digital hegemony—kekuasaan yang disebarkan, diperbanyak, dan direproduksi oleh mesin algoritma, bukan semata oleh institusi birokrasi.

Padahal, dampaknya sangat serius. Tanpa KI, penyelesaian sengketa informasi publik berpotensi lumpuh.

Tanpa KPID, pengawasan isi siaran menjadi timpang, membiarkan konten-konten menyesatkan masuk tanpa filter. Demokrasi lokal di Lampung melemah hanya karena pemerintah memilih menunda rekrutmen dengan alasan yang dangkal. Sementara itu, komisioner lama tetap duduk manis menerima honorarium dari APBD, meski SK mereka sudah berakhir. Ironi yang begitu telanjang di depan publik.

Situasi ini bukan sekadar soal efisiensi atau teknis anggaran, melainkan soal etika politik dan komitmen terhadap demokrasi. DPRD, akademisi, hingga pegiat kebijakan publik sudah menegaskan: alasan klasik keterbatasan anggaran tidak bisa lagi dijadikan tameng. Tetapi yang muncul justru pembiaran, seolah-olah publik bisa diyakinkan dengan retorika murahan.

Diskominfotik Lampung semestinya menjadi garda terdepan dalam menjamin keterbukaan informasi dan literasi publik. Sayangnya, lembaga ini justru terjebak menjadi alat produksi narasi hegemonik yang mengaburkan masalah. Di era digital, ilusi efisiensi memang bisa dipoles dengan baik melalui algoritma. Namun, publik yang kritis lambat laun akan menyadari bahwa di balik retorika penghematan, yang sedang berlangsung adalah pelemahan demokrasi. Dan ketika kesadaran itu meluas, hegemoni bisa runtuh seketika.(**)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *