Mahepel Bantah Tuduhan Kekerasan Fisik dalam Diksar, Siap Dukung Proses Hukum

Linkarutama.com – Unit Kegiatan Mahasiswa Mahasiswa Ekonomi Pencinta Lingkungan (Mahepel) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Lampung (Unila) menggelar konferensi pers menanggapi tuduhan keterlibatan mereka dalam dugaan kekerasan fisik pada kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diksar) yang dikaitkan dengan wafatnya Pratama Wijaya Kesuma, seorang mahasiswa yang sempat viral di media.

Kuasa hukum Mahepel dari LBH Ikadin Bandar Lampung, Candra Bangkit, menyatakan bahwa pihaknya menolak seluruh tuduhan kekerasan dalam kegiatan tersebut.

“Intinya, Mahepel menolak dengan tegas semua pemberitaan yang menyebutkan adanya kekerasan selama diksar. Kami turut berduka atas wafatnya almarhum Pratama dan siap kooperatif dalam proses hukum yang berjalan,” ujar Candra dalam konferensi pers pada Selasa (3/6/2025), di Jalan Amir Hamzah, Kelurahan Gotong Royong, Bandar Lampung.

Dukung Penuh Proses Hukum dan Investigasi

Candra menegaskan bahwa pihak Mahepel mendukung upaya pencarian fakta oleh Tim Investigasi Universitas Lampung maupun aparat penegak hukum (APH).

“Kami menyambut baik langkah keluarga almarhum yang melaporkan kasus ini ke Polda Lampung. Mahepel akan bersikap terbuka dan kooperatif demi mengungkap kebenaran,” ujarnya.

Bantahan Terkait Kekerasan dan Insiden Minum Spiritus

Diksar Mahepel dilaksanakan pada 14–17 November 2024 dengan prosedur yang mengacu pada standar operasional (SOP) organisasi. Seluruh tahapan, dari seleksi hingga pelatihan lapangan, disebut telah mengantongi izin dari pihak kampus, aparat, dan pemerintah desa setempat.

“Tidak pernah ada sistem atau instruksi yang mendorong terjadinya kekerasan. Luka ringan yang dialami peserta merupakan dampak dari aktivitas alam terbuka, bukan akibat penganiayaan,” terang Candra.

Terkait isu peserta dipaksa minum spiritus, Mahepel juga membantah keras. Disebutkan bahwa insiden tersebut merupakan kelalaian individu.

“Almarhum salah mengambil botol, namun cairan itu tidak tertelan karena langsung disemburkan,” tegasnya.

Kematian Disebut Tidak Berkaitan Langsung dengan Diksar

Candra menjelaskan bahwa almarhum Pratama meninggal dunia pada 28 April 2025 akibat tumor otak, sekitar lima bulan setelah kegiatan Diksar selesai. Bahkan setelah kegiatan, Pratama masih aktif di sekretariat Mahepel hingga Februari 2025.

“Ini bukan kematian mendadak saat kegiatan. Karena almarhum masih aktif tanpa keluhan kesehatan yang mencolok hingga beberapa bulan setelah diksar,” jelasnya.

Soal Isu Lain: Pendengaran dan Longmarch

Mengenai peserta lain, M. Arnando, yang dikabarkan mengalami kerusakan pendengaran, pihak Mahepel menyebut bahwa diagnosis medis menyatakan Arnando mengalami Otitis Media Akut (OMA), bukan pecah gendang telinga. Mahepel disebut telah memberikan pendampingan dan bantuan pengobatan.

Terkait tudingan peserta dipaksa longmarch selama 15 jam tanpa istirahat, Candra menyatakan bahwa kegiatan telah disesuaikan dengan kondisi peserta.

“Peserta diberi waktu istirahat malam selama empat jam, dan logistik makanan serta air tersedia secara cukup,” ungkapnya.

Akui Kekurangan, Siap Evaluasi

Mahepel mengakui adanya kekurangan, yakni tidak menyertakan tim medis secara resmi selama kegiatan lapangan. Sebagai konsekuensinya, mereka menerima sanksi dari dekanat berupa kewajiban melakukan kegiatan sosial, dan berkomitmen melakukan evaluasi menyeluruh.

Ketua Umum Mahepel, Ahmad Fadilah, juga menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Pratama, serta mendukung proses penyelidikan. Ia meminta semua pihak untuk tidak menyimpulkan secara sepihak.

“Kami mohon semua pihak bersikap objektif dan menunggu hasil kerja tim investigasi agar kebenaran dapat terungkap melalui proses yang adil,” tutup Ahmad Fadilah. (*/her)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *