Oleh: Heris Drianto
Wartawan Utama (2018)
Linkarutama.com – Tak dapat dipungkiri, setiap kali terjadi pergantian pimpinan di negeri ini—yang terkenal kaya sumber daya alam dan memiliki potensi PAD melimpah—selalu muncul desas-desus praktik suap yang dibalut dengan janji jabatan. Fenomena ini seolah menjadi tradisi yang terus berulang, terutama ketika ada oknum-oknum yang sedang naik daun di “kerajaan” baru, Minggu (27/7/2025).
“Iming-iming jabatan” dengan janji suap sering menjadi pintu masuk untuk membuka peluang secara terselubung. Padahal, perilaku ini jelas mengacu pada praktik korupsi yang dikenal sebagai jual beli jabatan.
Ironisnya, meskipun kita paham bahwa praktik ini melanggar mekanisme dan aturan, pembenahan belum terlihat nyata. Bahkan, pelanggaran terus berjalan seolah menjadi hal yang lumrah.
Selain suap untuk mendapatkan kursi jabatan, ada pula kebiasaan lain yang menguras anggaran, seperti acara pelepasan pejabat purna tugas. Padahal, pemerintah sudah menggaungkan program efisiensi, namun sepertinya pesan itu diabaikan.
Lalu siapa yang salah? Siapa yang tidak tegas?
Praktik Suap: Jual Beli Jabatan
Praktik suap dalam promosi jabatan melibatkan pemberian uang, barang, atau janji kepada pejabat yang memiliki wewenang untuk mengangkat atau mempromosikan seseorang. Meski tidak menjamin jabatan itu berhasil diraih, jalur “khusus” seperti ini tetap dijalankan dengan rapi, meski pada akhirnya sering berujung Gagal Total (Gatot).
Padahal, tindakan ini sudah jelas termasuk tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bentuknya bisa bermacam-macam: jalur kekeluargaan, hubungan baik, hingga lobi khusus ketika seseorang merasa berada di puncak kekuasaan.
Jika bicara hukum, praktik ini termasuk tindak pidana karena melanggar prinsip keadilan, transparansi, dan merit system dalam pengisian jabatan. Pelaku bisa dijerat hukuman pidana, baik pemberi maupun penerima suap.
Ancaman dan Realita
Undang-undang sudah mengatur ancaman hukuman bagi pelaku suap menyuap: penjara dan denda. Namun, apakah itu membuat jera? Faktanya, praktik ini tetap terjadi.
Dampak negatifnya sangat jelas: merusak sistem birokrasi, menciptakan ketidakadilan, dan menurunkan kualitas pelayanan publik.
Solusi dan Harapan
Langkah sederhana yang bisa dilakukan adalah menolak dan melaporkan praktik ini jika kita mengetahuinya. Jangan tergoda oleh lobi-lobi atau janji “orang dalam” yang seolah menjamin jabatan, padahal uang bisa saja hilang dan jabatan tidak pernah didapat.
Banyak contoh kasus jual beli jabatan yang sudah ditangani penegak hukum, termasuk yang melibatkan kepala daerah dan pejabat tinggi. Karena itu, jika memiliki bukti, sebaiknya laporkan ke KPK atau aparat penegak hukum lainnya.
Beranikah kita? Atau jawabannya tetap: No Comment?
Tabikpun!

