Linkarutama.com – PEMBERITAAN terkait kasus Jiwasraya menjadi headline hampir semua media belakangan ini, diberitakan Jiwasraya menanggung kerugian mencapai Rp15 Triliun lebih dan mengakibatkan terancam gagal bayar premi lebih dari Rp30 Triliun, dikutip dari Undercoverchanel.com, Senin (8/2/2021).
Angka kerugian tersebut sangat fantastis dan mengagetkan bagi masyarakat yang selama ini awam dengan masalah di Jiwasraya.
Namun tidak bagi mereka yang sudah tau bahwa jiwasraya sudah mulai bermasalah sejak 13 tahun yang lalu dengan kerugian awal sekitar Rp3 Triliun namun penyelesaiannya berlarut larut, mungkin dianggap bukan sesuatu yang aneh karena bom waktu tersebut sudah ditanam dalam waktu yang sangat lama.
Pemberitaan mengenai kerugian fantastis tersebut saat ini sedang viral dan telah menjadi perhatian seluruh masyarakat, apalagi sejak Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan hal tersebut ke publik.
Mau tidak mau, bom waktu itu harus dimatikan agar tidak meledak dan bukan hanya mencelakakan nasabah sebagai pemegang polis, pegawai tapi juga akan mencederai kepercayaan publik dan menambah luka bagi keuangan negara.
Penyelamatan Jiwasraya harus dilakukan secara komprehensif dan tuntas, jangan hanya memberikan obat analgesik semata yang dirasakan hanya sebentar meredakan nyeri tapi kankernya semakin akut.
Jumlah BUMN dibidang jasa keuangan (perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi) sekitar 16 BUMN belum termasuk anak dan cucu usahanya bisa jadi jumlahnya juga bisa melebihi 100 perusahaan.
Total Asset seluruh BUMN bidang keuangan bisa mencapai lebih dari 3.400 Triliun Rupiah, sedangkan total asset BUMN dibidang asuransi mencapai sekitar 110 Triliun (9 BUMN Asuransi baik jiwa, reasuransi maupun asuransi umum termasuk Jiwasraya).
Laba BUMN perbankan di tahun 2018 sekitar 75-80 Triliun Rupiah sedangkan total laba BUMN asuransi sekitar Rp3,5 Triliun itupun belum termasuk dengan laba BUMN bidang pembiayaan dan investasi.
Menteri Erick merencanakan untuk melakukan restructuring Jiwasraya dalam rangka penyelematan Jterutama menyelamatkan dana nasabah yg di tempatkan di Jiwasraya tersebut.
Aksi korporasi itu akan dilakukan salahsatunya dengan membentuk holding BUMN asuransi sehingga nilai BUMN holding tersebut akan menjadi besar mencapai lebih dari 110 Triliun Rupiah apabila dikonsolidasikan.
Tentu saja aksi korporasi tersebut harus diikuti dengan negosiasi ulang dengan nasabah mengenai imbal hasil dan jatuh temponya, restrukturisasi pinjaman, restrukturisasi biaya dan lain sebagainya.
Langkah itu tujuannya dengan harapan setelah dilakukan holdingisasi maka struktur modal akan semakin kuat, aset juga menjadi besar dan memudahkan apabila diperlukan penambahan modal melalui private placement ataupun IPO, melakukan pinjaman atau mendapatkan dana talangan.
Tentu saja aksi korporasi tersebut tetap harus dilakukan dengan prudent, hati-hati dan juga cepat agar meminimalisir ekses negatif bagi investasi baik di mata dunia maupun dalam negeri.
Corporate restructuring yang dilakukan ditahap awal tersebut tentunya tidak akan langsung menyelesaikan masalah Jiwasraya dalam sekejap, akan memerlukan waktu penyelesaian paling sedikit 3 sampai 5 tahun mengingat masalah itu sudah sangat lama dan melibatkan dana nasabah yang sangat besar belum lagi liabilities yang lainnya.
Karena secara bisnis maupun hukum, Jiwasraya sudah bangkrut sejak lama karena rasio kecukupan modalnya minus mencapai 850% dan bahkan mungkin lebih.
Mungkin saja pemerintah perlu mempertimbangkan untuk sekaligus membentuk Holding Keuangan (operating holding atau hanya investment holding) dengan membawahi 3 Sub Holding yaitu, Sub Holding Perbankan (khusus bank saja), Sub Holding Lembaga Keuangan Non Bank (Lembaga Pembiayaan/finance Companies), Modal Ventura, Fund/investment Management) serta Sub Holding Asuransi (re-asuransi, asuransi jiwa dan asuransi umum).
Apabila Holding keuangan ini dibentuk maka asetnya akan sangat besar bisa mencapai 3.500 Triliun Rupiah, dengan kapitalisasi yang juga sangat besar, sehingga langkah penyelamatan Jiwasraya ataupun anak usaha holding lainnya yang bermasalah akan lebih mudah dilakukan.
Karena size dan valuasi holding keuangan tersebut nilainya puluhan kali lipat dari sub holding asuransi itu dan bahkan mungkin cukup melalui transaksi inter company account saja untuk sementara dalam menyelesaikan masalah jiwasraya. Wallahualam.
Apapun juga aksi korporasi yang akan diambil tentunya setelah melalui assesment dan kajian yang komprehensif dan kehati-hatian, sebab termasuk evaluasi terhadap anak dan cucu usaha BUMN.
Kedepannya perlakuan hukum dan korporasi terhadap anak usaha/cucu BUMN, haruslah sama dengan BUMN karena tetap menggunakan uang negara walaupun penyertaan modalnya tidak langsung.
Sehingga dalam melakukan restrukturisasi BUMN sebaiknya dilakukan secara komprehensif dan holistik, jangan lagi parsial atau sekedar memadamkan api secara lokal apalagi hanya sekedar window dressing laporan keuangan.
Mari kita percayakan pembenahan menyeluruh dari BUMN kita dan dukung yang dilakukan Menteri Erick dan pemerintah serta untuk kasus jiwasraya ini “Bom Waktu” bisa di non aktifkan atau setidaknya bisa dilokalisir dan diminimalisir dampak ledakannya.
Kita harapkan aksi korporasi yang akan dilakukan untuk penyelamatan Jiwasraya tersebut harus mementingkan hak nasabah terlebih dahulu dan bukan untuk menyelamatkan pihak-pihak yang telah memasang bom waktu itu dari jeratan hukum.
Catatan :
Angka2 diatas diambil dari berbagai sumber berdasarkan laporan keuangan tahun 2018, angka2 tersebut bisa lebih atau kurang, oleh: Dr. Andi Desfiandi, SE,. MA
Ketua Bidang Ekonomi Bravo Lima.(net/her)